Selasa, 12 Agustus 2014

Jatuh Cinta Diam-Diam

*terinspirasi dari @Dwitasaridwita

“Entah sejak kapan rasa jatuh ini singgah diam-diam di hatiku membawa namamu. Yang pasti malam itu aku menyebut namamu di depan mereka tanpa seijinmu. Sejak saat itu diam-diam aku berharap namaku kamu sebut saat ada yang bertanya padamu siapa yang kamu suka. Lagi-lagi hanya dengan diam.”

“Hari-hari selanjutnya membuatku semakin diam. Diam-diam menahan degup jantung yang semakin kencang saat kamu melintas. Diam-diam menundukkan tatapan mata yang tak kuasa melihatmu. Diam-diam aku bingung harus berbuat apa jika disampingmu. Andai dapat aku ungkapkan semua, mungkin kamu akan tahu meskipun mungkin sekedar tahu seperti angin lalu.”

“Kamu enak bisa berjalan sesuka hati, berbicara semaunya, bertindak seenaknya. Aku? Aku selalu menghindari jalan berpapasan denganmu karena memandangmu dari jauh bagiku sudah cukup. Aku selalu berbicara dengan lantang agar kamu tahu ada aku disana. Mungkin kamu mencariku, jadi dengan begitu kamu akan merasa lega kalau tahu ada aku. Atau mungkin kamu akan kaget ketika tahu ada aku, yang artinya aku memberimu surprise akan kehadiranku. Minimal ada dua tujuan itulah saat aku berbicara. Ya keduanya sebenarnya adalah rasaku ketika tiba-tiba aku tahu ada kamu. Dan aku berharap rasa itu sama. Tapi mungkin tidak untukmu. Ya.. lagi lagi aku menerkanya dalam diam. Dan kamu melakukan semua itu dengan biasa saja.”

“Aku berharap dalam hitungan jam jatuhku padamu telah usai, ternyata tidak. Aku berharap dalam hitungan hari jatuhku padamu telah berakhir, ternyata belum. Aku berharap dalam hitungan bulan jatuhku padamu telah move on, ternyata tetap. Aku berharap dalam hitunga tahun..... ya ternyata aku jatuh padamu sudah dalam hitungan tahun. Masih tetap jatuh cinta padamu diam-diam.”

“Aku merasa senang saat mereka berpendapat sama seperti yang aku terka. Ya.. aku sering sekali menerka tentang kamu. Menerka tingkahmu yang menggambarkan rasa sukamu padaku. Menerka gengsimu yang menggambarkan rasa sukamu padaku. Sejak saat itu menerka menjadi salah satu jenis hobi yang aku geluti. Ketika hasilku menerka salah maka aku kembali berbicara pada cermin lamunan untuk berhenti berharap. Ketika hasilku menerka benar maka aku kembali berbicara pada cermin lamunan untuk mempercayai bahwa semua itu hanyalah kebetulan yang tidak kamu sengaja. Dan akhirnya semua hasilku menerka selalu berujung kesimpulan bahwa mana mungkin kamu menyukaiku.”

“Saat aku merindukanmu, aku tetap berusaha untuk diam sambil berteriak “i miss you soo”. Terkadang rasa rinduku bukan berupa air mata lagi melainkan rasa benciku padamu. Tidak jarang aku tiba-tiba sungguh membencimu. Benci kamu yang tak pernah tahu saat aku rindukan. Benci kamu yang malah asyik bergurau dengan yang lain saat aku rindukan. Benci kamu yang tak pernah merindukanku. Benci kamu yang malah memainkan game saat aku khawatir tanpa kabarmu. Benci kamu saat aku menunggu kabarmu ternyata kamu sedang asyik jalan-jalan.”

“Aku tak melarang kamu bercanda tawa dengan yang lain meskipun hanya berteman, tapi seharusnya kamu bilang bahwa kalian hanya berteman sehingga aku tak bertanya-tanya dia siapamu. Aku tak melarang kamu bermain game, tapi seharusnya kamu bilang kalau kamu tak ada kabar karena kamu sedang ngegame sehingga aku tak bertanya-tanya kamu sedang apa. Aku tak melarangmu jalan-jalan apalagi sama keluarga atau teman, tapi seharusnya kamu bilang bahwa kamu sedang dengan mereka sehingga aku tak bertanya-tanya kamu sedang dimana. Dan seharusnya aku bisa sampaikan itu semua. Tapi? Aku hanya bisa diam. Aku tak menyalahkanmu. Sungguh.”

“Aku mendambakanmu yang selalu bertanya apa kabar tapi aku sendiri tak mampu menanyakan itu padamu. Wajar. Sangat wajar kalau kau diam. Aku mendambakanmu yang selalu mengajakku ngobrol tapi aku sendiri tak mampu berbicara lama denganmu. Wajar. Sangat wajar kalau kamu cuek. Sungguh, aku ingin kamu yang memulai.”

“Jangan pernah menuntutku untuk bilang aku suka kamu. Aku tak akan pernah berani. Ya mungkin memang benar kalau perempuan itu tugasnya menolak dan pria tugasnya memilih. Aku hanya bisa menerimamu saat kamu memilihku. Selebihnya aku hanya akan menunggu. Menunggu sampai batas waktu tertentu untuk kemudian merelakanmu berlalu begitu saja. Maaf. Hanya itu yang bisa aku lakukan.”


0 komentar: