*terinspirasi dari @Dwitasaridwita
“Entah sejak kapan rasa jatuh ini singgah diam-diam di hatiku membawa namamu. Yang pasti malam itu aku menyebut namamu di depan mereka tanpa seijinmu. Sejak saat itu diam-diam aku berharap namaku kamu sebut saat ada yang bertanya padamu siapa yang kamu suka. Lagi-lagi hanya dengan diam.”
“Entah sejak kapan rasa jatuh ini singgah diam-diam di hatiku membawa namamu. Yang pasti malam itu aku menyebut namamu di depan mereka tanpa seijinmu. Sejak saat itu diam-diam aku berharap namaku kamu sebut saat ada yang bertanya padamu siapa yang kamu suka. Lagi-lagi hanya dengan diam.”
“Hari-hari selanjutnya membuatku semakin diam. Diam-diam
menahan degup jantung yang semakin kencang saat kamu melintas. Diam-diam
menundukkan tatapan mata yang tak kuasa melihatmu. Diam-diam aku bingung harus
berbuat apa jika disampingmu. Andai dapat aku ungkapkan semua, mungkin kamu
akan tahu meskipun mungkin sekedar tahu seperti angin lalu.”
“Kamu enak bisa berjalan sesuka hati, berbicara semaunya,
bertindak seenaknya. Aku? Aku selalu menghindari jalan berpapasan denganmu
karena memandangmu dari jauh bagiku sudah cukup. Aku selalu berbicara dengan
lantang agar kamu tahu ada aku disana. Mungkin kamu mencariku, jadi dengan
begitu kamu akan merasa lega kalau tahu ada aku. Atau mungkin kamu akan kaget
ketika tahu ada aku, yang artinya aku memberimu surprise akan kehadiranku.
Minimal ada dua tujuan itulah saat aku berbicara. Ya keduanya sebenarnya adalah
rasaku ketika tiba-tiba aku tahu ada kamu. Dan aku berharap rasa itu sama. Tapi
mungkin tidak untukmu. Ya.. lagi lagi aku menerkanya dalam diam. Dan kamu
melakukan semua itu dengan biasa saja.”
“Aku berharap dalam hitungan jam jatuhku padamu telah usai,
ternyata tidak. Aku berharap dalam hitungan hari jatuhku padamu telah berakhir,
ternyata belum. Aku berharap dalam hitungan bulan jatuhku padamu telah move on,
ternyata tetap. Aku berharap dalam hitunga tahun..... ya ternyata aku jatuh
padamu sudah dalam hitungan tahun. Masih tetap jatuh cinta padamu diam-diam.”
“Aku merasa senang saat mereka berpendapat sama seperti yang
aku terka. Ya.. aku sering sekali menerka tentang kamu. Menerka tingkahmu yang
menggambarkan rasa sukamu padaku. Menerka gengsimu yang menggambarkan rasa
sukamu padaku. Sejak saat itu menerka menjadi salah satu jenis hobi yang aku
geluti. Ketika hasilku menerka salah maka aku kembali berbicara pada cermin
lamunan untuk berhenti berharap. Ketika hasilku menerka benar maka aku kembali
berbicara pada cermin lamunan untuk mempercayai bahwa semua itu hanyalah
kebetulan yang tidak kamu sengaja. Dan akhirnya semua hasilku menerka selalu
berujung kesimpulan bahwa mana mungkin kamu menyukaiku.”
“Saat aku merindukanmu, aku tetap berusaha untuk diam sambil
berteriak “i miss you soo”. Terkadang rasa rinduku bukan berupa air mata lagi
melainkan rasa benciku padamu. Tidak jarang aku tiba-tiba sungguh membencimu.
Benci kamu yang tak pernah tahu saat aku rindukan. Benci kamu yang malah asyik
bergurau dengan yang lain saat aku rindukan. Benci kamu yang tak pernah
merindukanku. Benci kamu yang malah memainkan game saat aku khawatir tanpa
kabarmu. Benci kamu saat aku menunggu kabarmu ternyata kamu sedang asyik
jalan-jalan.”
“Aku tak melarang kamu bercanda tawa dengan yang lain
meskipun hanya berteman, tapi seharusnya kamu bilang bahwa kalian hanya
berteman sehingga aku tak bertanya-tanya dia siapamu. Aku tak melarang kamu
bermain game, tapi seharusnya kamu bilang kalau kamu tak ada kabar karena kamu
sedang ngegame sehingga aku tak bertanya-tanya kamu sedang apa. Aku tak
melarangmu jalan-jalan apalagi sama keluarga atau teman, tapi seharusnya kamu
bilang bahwa kamu sedang dengan mereka sehingga aku tak bertanya-tanya kamu sedang
dimana. Dan seharusnya aku bisa sampaikan itu semua. Tapi? Aku hanya bisa diam.
Aku tak menyalahkanmu. Sungguh.”
“Aku mendambakanmu yang selalu bertanya apa kabar tapi aku
sendiri tak mampu menanyakan itu padamu. Wajar. Sangat wajar kalau kau diam.
Aku mendambakanmu yang selalu mengajakku ngobrol tapi aku sendiri tak mampu
berbicara lama denganmu. Wajar. Sangat wajar kalau kamu cuek. Sungguh, aku
ingin kamu yang memulai.”
“Jangan pernah menuntutku untuk bilang aku suka kamu. Aku tak
akan pernah berani. Ya mungkin memang benar kalau perempuan itu tugasnya
menolak dan pria tugasnya memilih. Aku hanya bisa menerimamu saat kamu
memilihku. Selebihnya aku hanya akan menunggu. Menunggu sampai batas waktu
tertentu untuk kemudian merelakanmu berlalu begitu saja. Maaf. Hanya itu yang
bisa aku lakukan.”
0 komentar:
Posting Komentar