Senin, 25 Agustus 2014

Aku tak ingin mahkota



Aku tak ingin mahkota.


Aku tak ingin istana.


Ketika semua orang berbondong-bondong berlari mengejarnya, aku hanya ingin melengang pergi meninggalkannya dan menuju ketempat yang tidak semua orang bisa capai. Disana hanya ada mereka yang mau berjuang yang mendapatkannya, disana hanya ada mereka yang tak menomor satukan rupiah. Mereka yang tak segan-segan menguras keringat bukan hanya karena rupiah melainkan karena kebebasan. Mereka yang tak pernah berkata bosan untuk kembali memperjuangkan sesuatu yang sama yang banyak orang telah bosan dengan perjuangannya.


Yang aku ingin hidup dengan alam.


Suara berisik air yang menenangkan.


Suara kicau burung yang sahdu.


Aku ingin hidup diantara mereka yang belajar dari alam.


“jangan buang sampah sembarangan” kalimat paling mengharukan yang saat ini aku tulis. Entahlah... mungkin karena aku terlalu mendalami tulisanku. Yang jelas aku ingin berseru pada kita semua. Mari bersama berusaha untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kasian alam. Dia begitu cantik, penuh pesona, dan membuat kita merasa damai. Haruskan membalasnya dengan sisa kepuasan kita tanpa memikirkan apa yang mereka buat untuk kita.


Aku tak akan pernah peduli dengan mereka yang tidak aku inginkan. Bukan karena aku makhluk sosial yang angkuh. Aku hanya menghindari apapun yang kurang bermanfaat apalagi merugikan. Hidup ini indah. Aku percaya itu. Indah jika semua mau hidup positif. Saling bersosialisasi terutama jika itu sama-sama memberi dampak positif. Tidak akan seratus persen positif, setidaknya kita terus berusaha mengurangi yang tidak positif.


Tidak mudah memang, aku merasa kurang nyaman ketika duduk berbincang dengan mereka yang ditempa macam ibu-ibu rumah tangga ahli gosip. Begitu lihai membicarakan mereka yang tidak sedang berada disini. Aku lebih tertarik jika membicarakan diri sendiri. Sombong? Ah pasti akan seperti itu pandangannya. Tapi, bukankah lebih baik membicarakan diri sendiri daripada membicarakan orang lain? Mungkin dari sana sudah berbeda sudut pandang.


Aku lebih suka membuat sesuatu sendiri daripada bekerja mencari rupiah untuk membeli sesuatu. Yang ada di prinsipku saat ini bagaimana menggunakan rupiah itu seminimal mungkin. Ketika kita bisa menguras keringat dan menukarnya dalam bentuk kreativitas itu akan lebih membanggakan dibanding ditukar dengan rupiah. Setidaknya ketergantunganku terhadap benda yang namanya rupiah semakin lama semakin menurun. Karya itu akan memiliki kepuasan batin jangka lama.


Jangan datang padaku membawakan mahkota dan istana. Datanglah padaku dengan apa adanya. Seorang diri. Tak juga membawa nama orang tuamu. Berjalan kaki kalau perlu. Sebab aku tak peduli dengan kudamu. Aku ingin memilihmu dengan kata hatiku. Bukan kata orang tua atau kata materi. Dari dulu sampai sekarang aku hanya meyakini bahwa ketika aku memilihnya dengan hati itu berarti pilihan Yang Maha Segalanya.


Mungkin orang tua akan mempertimbangkan ini itu. Padahal apa kita akan tahu masa depan? Mereka memang melahirkan kita dan membimbing kita. Tapi semua rencana masa depan hanya Tuhan yang tahu. Jadi jika sama-sama tidak tahu, aku lebih mempercayahi diriku sendiri daripada siapapun. Tuhan sayang setiap makhluk ciptaannya melebihi sayang mereka kepada kita, jikalau nanti salah jalan, pasti hanya Dia yang bisa menolong. Bukan orang lain. Jadi saya tidak pernah takut salah memilih. Karena itulah alasannya.


This is my life. Jadi sayalah yang menjadi sopir kehidupannya. Bukan dia, kau, bahkan mereka. Masalah alur jalan yang akan aku lalui semua adalah rencanaNya.


Soo... hidup itu simpel. Selain aku dan Yang Maha Segalanya adalah bukan yang harus didengar, dilihat, dirasakan. Boleh didengar tapi tak selalu dilakukan, boleh dilihat tapi tak selalu harus diikuti, boleh dirasakan tapi tak selalu jadi pedoman. Semua tergantung diri sendiri dan restuNya menanggapi mereka. Lakukan sesukaa hati dengan sepenuh hati. Jika tidak mau dibatasi harus tau batasannya. Jika tidak mau diatur harus punya aturan sendiri. Setidaknya aku berjalan dengan itu. Membatasi diri sendiri sebelum dibatasi oleh orang lain.


Jadi kalau kamu milih A maka aku tidak harus memilih A. Bisa B, C bahkan Z. Karena benar dan salah yang mutlak tidak ada yang tahu. Selama yang kita lakukan semaksimal mungkin bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain dan seminim mungkin tidak merugikan diri sendiri dan orang lain bagiku itulah hidup.


Saya tidak peduli anda semua sepakat atau tidak dengan sudut pandang saya. Saya kurang berminat mengomentari apa kata kalian yang suka mengomentari hidup orang. Mungkin bermanfaat tapi bagiku talk less do more. Jangan hanya komentar, buktikan kalau kalian bukan hanya bisa komentar tapi juga bisa memberi contoh yang baik.


Hhmmm lapar... beli makan di warung sebelah.


Ada dialog keren yang ingin aku share.


“bu, g usah dibungkus kresek bu” (biar irit plastik, bisa mengurangi sampah)


Ehhh si ibu bilang : “g ilok mbak neg g dibungkus, g oleh lamarna engko” (g baik kalau tidak dibungkus, tidak dilamar nanti)


Jsgfdluhawdej.olaiweu


Yaaaa benginilah, langsung kacau balau dengernya. Maksudnya si ibu ini apa toh. Saya kan maunya langsung nikah g pake acara lamaran bu, bagaimana terus? Hahahahaha...


Bukan begitu,


Inilah contoh riil. Mungkin kita bisa mengubah diri sendiri tenatng sudut pandang peduli lingkungan. Jadi ya terima saja kreseknya. Pola pikir orang yang lebih dewasa memang antimainstream. Kalau sudah begitu mau ngajak mereka hemat plastik juga masih mikir dua kali. Ya harus lebih ekstra lagi dalam sosiali sasi kepada mereka yang seumuran dengan si ibu. Antara mitos masa lalu yang dibawanya hingga sekarang. Untuk bapak saya orangnya terbuka masalah ilmu pengetahuan yang diperoleh anaknya dibangku sekolah. heheheh




0 komentar: